Buru Selatan dan Tradisi yang Membelenggu

Sore itu, 10 Mei 2016, saya bersama dua peneliti lainnya, satu peneliti inti dan satunya peneliti yang seorang antropolog, berangkat dari Kota Makassar menuju Bandara Pattimura Ambon pukul 04.00 WITA menggunakan ‘Burung Biru’. Tiba di Ambon pukul 06.15 WIT. Kami langsung ke loket Trigana Air untuk memesan tiket Ambon-Namrole yang berangkat pukul 14.00 WIT. Perjalanan kami ke Namrole membutuhkan waktu sekitar 45 menit diiringi dengan cuaca yang cukup cerah. Kami lalu menuju penginapan menggunakan ojek. Kami harus menginap semalam di ibukota kabupaten, karena untuk menuju Kecamatan Waesama tidak mungkin dilakukan pada sore hari. Untuk kesana, kami harus mencari kendaraan yang bisa membawa kami. Setelah bertanya dengan penjaga penginapan, kami memutuskan untuk menggunakan ojek esok harinya. Dengan ojek perjalanan tidak terasa perjalanan kami tempuh selama dua jam dengan jarak sekitar 30 km. Kami harus merogoh kocek 250 ribu rupiah. Tarif yang normal untuk ukuran wilayah setempat.


Bandar Udara Namrole di Kabupaten Buru Selatan

Kabupaten Buru Selatan adalah kabupaten pemekaran dari Kabupaten Buru yang disahkan melalui sidang Paripurna DPR RI tanggal 24 Juni 2008 melalui UU nomor 32 tahun 2008. Tahun 2014, penduduknya berjumlah 58.197 jiwa. Kabupaten Buru Selatan terdiri dari 6 kecamatan termasuk Kecamatan Waesama yang hendak datangi.
Saat itu sudah memasuki musim timur (penghujan). Jalanan yang kami lalui kondisinya belum beraspal sehingga sedikit mengganggu perjalanan kami. Jalan yang dulu batu-batunya masih tersusun rapi kini keadaannya sudah berhamburan karena dibawa air hujan. Motor yang kami tumpangi pun berjalan lebih berhati-hati karena kondisi jalanan yang buruk dan beberapa kali turun jalan kaki karena banyak anak sungai yang harus dilalui.
Anak Sungai yang menjadi tempat hilir mudiknya warga waesama
Di tengah perjalanan kami menyempatkan diri untuk rehat sejenak sambil menikmati pemandangan hamparan kerikil putih yang membentang luas di pesisir pantai, menjadi ciri khas pesisir pantai di Waesama. Decak kagum akan keindahan pesisir ini semakin menjadi setelah melihat pesona batu karang yang berada di hadapan kami. Keindahan pesona alam di Waesama semakin mempertegas bahwa Indonesia adalah negeri yang indah nan mempesona yang terbentang di sepanjang pelosok negeri. Suatu anugerah yang patut untuk kita syukuri.


Eksotisme Tanjung Waiyo

 
Tiba di Desa Walikut, Kecamatan Waesama pukul 13.00 WIT, kami langsung ke rumah Pak Mantri Frans, tenaga kesehatan di Waesama,  yang sebelumnya sudah kami hubungi untuk bertemu. Setibanya disana kami disambut oleh istrinya. Berhubung Pak Frans sedang mengunjungi pasiennya, kami dipersilahkan menunggu dan istirahat sejenak sambil meneguk teh hangat di ruang tamu, sebelum melanjutkan perjalanan menuju Gunung Fenamnesa. Beberapa saat kemudian Pak Frans datang menghampiri kami, yang kemudian dilanjutkan dengan penjelasan mengenai maksud kedatangan kami.

Gunung Fenamnesa dan tradisi leluhur yang terjaga

Kami lalu melanjutkan perjalanan ke Dusun Fenamnesa yang terletak di atas Gunung Fenamnesa dengan jalan kaki. Medan menuju dusun ini sangat menantang berupa tanjakan dengan kondisi jalan berbatu-batu. Salah satu sisi jalan mulai longsor karena terbawa hujan yang mulai turun beberapa hari terakhir. Di sepanjang jalan di sisi kiri dan kanan terlihat perkebunan seperti cengkeh, kelapa, dan coklat milik penduduk. Dusun Fenamnesa berjarak sekitar 2 kilometer dari Desa Walikut.

Setelah melewati beberapa tanjakan, jalanan berubah menjadi dataran yang cukup luas dan kami pun tiba. Di Dusun Fenamnesa, rumah-rumah yang terlihat tidak begitu banyak dan letaknya tidak beraturan. Sepanjang pengamatan kami, tidak ada satupun rumah yang terbuat  dari beton, begitu juga atapnya tidak ada yang menggunakan seng. Nampak jelas bangunan rumah terbuat dari kayu untuk dinding dan anyaman daun rumbia sebagai bahan atapnya. Rumah-rumah yang ada sangat sederhana dan lingkungannya nampak bersih. Disini hanya ada lima belas rumah saja. Dusun Fenamnesa sebenarnya terbagi dalam dua wilayah, fenamanesa 1 yang dihuni oleh Marga Nusalaut dan fenamnesa 2 yang dihuni oleh Marga Latbual. Dusun Fenamnesa 2 lebih sedikit lagi jumlah rumahnya, hanya ada lima rumah saja.

Disini, warga tidak mengenal kalender layaknya masyarakat pada umunya. Bahkan tidak mengenal hari, tanggal, dan tahun ini hanya mengenal terbit dan terbenamnya matahari. Jika akan melakukan hajatan atau ritual, dong (mereka) mengikat tali di kayu untuk menjadi parameter hari dan dihitung secara manual.

                      "Baikat tali dolo sampai 30 di kayu, terus dilepas setiap harinya untuk

                 menandakan  katong so dekat hari acara", kata salah seorang warga”



Sisa Ikatan Tinggal Satu Menunjukkan Acara Sunat
akan Digelar Besok

Perjalanan kami kemudian terhenti di satu rumah yang memiliki dego-dego (bale-bale) cukup luas. Rumah ini dihuni oleh sepasang suami istri yang sudah cukup sepuh. Ketika kami duduk tidak lama kemudian keluar seorang bapak yang ternyata adalah orang tua dari Pak Mantri Frans sekaligus Kepala Soa (Suku). Beliau sudah tahu maksud kedatangan kami karena telah menerima Lenso (sejenis kain yang dikirim untuk menandakan tamu akan datang) dari darat sebelumnya. Namun Mantri Frans kembali menjelaskan maksud kedatangan kami ke Dusun Fenamnesa. Tempat yang paling aman dihuni karena jauh dari keramaian dan hanya ditinggali Marga Nusalaut. Pemerintah sudah pernah berkunjung untuk merenovasi rumah mereka dengan menggunakan seng dan listrik, namun Kepala Soa menolak dengan alasan memepertahankan pesan leluhur. Membuat rumah dengan menggunakan seng atau beton serta pemanfaatan listrik dalam perspektif adat adalah hal yang tidak dapat dilakukan karena dianggap memiliki manfaat yang lebih sedikit dan merusak tanah leluhur. Tidak heran, walaupun ada upaya untuk memodernisasi kawasan Fenamnesa oleh pemerintah, warga masih berpegang kokoh dan teguh dengan kepercayaan adat. Mereka yakin ketika nilai-nilai adat itu dilanggar, maka akan mendatangkan malapetaka dalam berbagai wujud, seperti kematian tiba-tiba warga, lahan perkebunan hangus, rumah roboh dan lainnya. Untuk  bertahan hidup, warga masih mengandalkan lampu tradisional dengan sumbu kain dan minyak tanah dalam menerangi rumah saat malam menjelang.





Potret Fenamnesa Tempat Fam Nusalaut Bermukim
Kondisi rumah kepala suku berdinding dan beratapkan daun rumbia yang dibagi dua petak, beralaskan tanah dan berdaun pintu dari dahan rumbia yang dianyam dan menempel di dinding dengan menggunakan akar kayu yang menjadi grendel pintu. Terlihat  susunan sarung dan baju yang rapi dan jejeran tempat air (jirigen) yang berisikan air dari mata air yang terletak sekitar 800 meter dari pemukiman. Sesekali angin bertiup membuat kami ingin berlama-lama duduk. Suasana rumah sangat adem, tenang dan jauh dari kebisingan. Hal yang nyaris mustahil saya dapatkan ketika berada di kota. Kondisi rumah Kepala Soa ini adalah gambaran representatif dari seluruh rumah di daerah ini.

Kepala Soa lalu bercerita tentang marga dan sejarah hidup mereka yang berpindah-pindah sampai memilih fenamnesa jadi tempat bermukim bersama warga fenamnesa lainnya (terdapat 14 rumah) yang semuanya marga Nusalaut. Dahulu, leluhur mereka pernah bermukim di beberapa wilayah termasuk pesisir dan hidup berdampingan dengan marga lain. Namun, konflik yang terus terjadi memaksa mereka harus mencari wilayah lain untuk menyambung hidup. Wilayah pegunungan fenamnesa akhirnya dipilih karena mereka dapat hidup tanpa ada kelompok lain. Selain itu, kondisi tanah yang subur dapat dijadikan sumber kehidupan karena baik untuk bercocok tanam.


Tak terasa matahari telah menyingsing di ufuk barat dan haripun semakin gelap. Waktu telah menunjukkan pukul 19.45 WIT. Kami masih duduk di dego-dego (tempat duduk) bersama Kepala Soa yang masih energik dan masih semangat menemani kami duduk bersantai dan menikmati seduhan teh hangat dari anak beliau. Tiba-tiba Pak Dedi (salah seorang warga fenamnesa) datang menghampiri kami. Beliau agak mengatur jarak karena sungkan dengan Kepala Soa dan menyudut duduk di dego-dego. Saya menghampiri beliau yang diawali dengan diskusi renyah sampai tak terasa ia menceritakan perjalanan hidupnya selama berada di Pegunungan Fenamnesa.


Pak Dedi yang berusia 28 tahun, berkulit sawo matang, berambut hitam dan terbelah dua dengan ramah memperkenalkan dirinya dan bercerita sampai memilih wanita fenamnesa menjadi tambatan hatinya. Ia pertama kali mengenal sang istri pada saat ada pertandingan bola voli di pesisir dan sang istri menjadi leader dari timnya. Pak Dedi yang berprofesi sebagai tukang kayu di perusahaan pada 5 tahun lalu memutuskan untuk kawin lari (karena pihak keluarga wanita tidak merestui) dan membawa istrinya ke Kota Ambon dan menikah secara islami. Setahun pernikahan berjalan mereka diminta untuk kembali ke finamnesa karena mertua lelaki Pak Dedi jatuh sakit dan mengalami stroke di bagian tangan dan kaki bagian kirinya. Sudah 5 tahun membina rumah tangga, mereka belum juga di karunia anak. Sementara keluarga dari istri di sekelilingnya sudah memiliki anak, yang usianya tidak terpaut jauh dari mereka. Pak Dedi yang berasal dari keluarga yang menjunjung adat istiadat sudah mulai terbiasa dengan lingkungan sekitar. Pak Dedi yang saat ini berprofesi sebagai petani menanam berbagai tanaman jangka panjang diantaranya kakao, pala dan cengkeh dan ditanam tidak jauh dari rumahnya. Pak Dedi berangkat ke kebun jam 07.30 pagi dan kembali jam 5 sore setiap harinya. Terkadang ia ditemani istri ke kebun pada saat panen. “Saat ini musim coklat”, tandasnya. Musim hujan agak mengganggu aktifitas mereka karena coklat tidak dapat dijemur dan tidak dapat dijual jika biji coklatnya di panggang.


Bunyi kicauan burung mulai menghentak di belakang rumah dan angin malam semakin menusuk raga. Para ibu yang habis mencuci di mata air baru berdatangan. Mereka pulang kemalaman. Katanya, mereka juga dari hutan membantu suaminya berkebun. Pak Dedi yang masih menikmati teh hangat melanjutkan ceritanya setelah saya menanyakan konsep sakit menurut dia.
"Sakit menurut beta itu, kalau sudah rasa pusing dan mau terjatuh begitu, kalau
su rasa demam minum rebusan daun pepaya atau daun langsat saja, nanti panggil
pak Mantri kalau su rasa seng dapat bangun"
Di Dusun Fenamnesa, warga mempercayai tiga macam konsep sakit. Pertama, sakit alami, sakit yang bisa sembuh dengan minum ramuan obat dan dapat ditangani oleh Pak Mantri. Kedua, sakit kiriman, sakit yang berasal dari ilmu hitam melalui perantara tanaman atau buah yang biasa dimakan. Ketiga, sakit kutukan leluhur, sakit akibat melanggar aturan adat. Pemahaman ini terjaga secara turun temurun di tanah adat fenamnesa.
Penyakit yang paling ditakuti adalah sakit kutukan leluhur karena melanggar aturan adat. Pak Dedi memberi contoh Bapak yang meninggal awal Mei dengan gejala perut bengkak dan rasa panas. Keluarga dan kerabat tidak bisa berbuat apa-apa. Penyakit itu dianggap datang dari leluhur karena pelanggaran yang berat terbayarkan dengan hukuman yang berat.
"Antua (beliau) akan membangun rumah tembok, pondasi sudah mau jadi sisa sedikit baru selesai, pada saat itu juga Antua langsung kena perut bengkak dan rasa panas, seng cukup sebulan antua meninggal, sisa pondasi sekarang disana anaknya seng lanjutkan lagi"
Membangun rumah tembok yang berbeda dengan rumah adat dianggap sebagai sebuah pelanggaran adat. Kasus lain, beberapa waktu yang lalu bapak yang tinggal di samping rumah Pak Kepala Soa berencana membeli mesin dan TV untuk menjadi hiburan anak-anak yang berada di tanah adat. Esok harinya setelah mereka pergi ke kebun, bapak itu kaget karena mendapati dua hektar lahan kebunnya hangus.
Semua yang diungkapkan Pak Dedi dan Kepala Soa saya konfirmasi ke Pak Amen (yang ikut bergabung bersama kami di dego-dego). Tanpa panjang lebar, ia mengiyakan semua hal yang saya tanyakan. Wajar, beliau adalah garis keturunan yang menjaga tradisi adat dengan kuat dan dibesarkan oleh Kepala Soa. Dalam upaya mengkonfirmasi, saya berusaha untuk menjaga sikap, tutur kata dan tindakan dengan sopan dan halus agar tidak menimbulkan kesalahpamahan baik antara saya dan warga fenamnesa maupun antara sesama warga fenamnesa sendiri.
"Samua itu batul katong sini sangat menjaga titipan cici-cici dan teteh, seng bisa bangun rumah dari tembok, pake seng, dan samua tanaman alami, kalau langgar Se dapat hukumannya, Pemerintah su mau kasi disana seng (atap) di Wasesoar, tapi katong seng (tidak) bisa pakai, seng (tidak) ambil"
Segala hal yang berkaitan dengan produk modern dan bukan bersumber dari budaya adat tidak boleh hadir di kehidupan mereka karena dianggap bertentangan dengan nilai-nilai leluhur. Jika dilanggar, ada saja bencana dalam berbagai wujud yang akan datang menghampiri bagi siapa saja. Termasuk tradisi yang berkaitan dengan ibu hamil dan persalinannya.
Pak Amen kemudian mencoba menyambung diskusi dengan menceritakan kehidupannya. Ia menceritakan prosesi lamarannya tiga bulan lalu dengan meminang sang istri dengan 50 gong dan uang sebesar 90 juta rupiah. Sungguh sebuah nilai yang mahal untuk ukuran sebuah mahar pernikahan, namun terasa ringan karena ada bantuan dari keluarga semarga. Pak Amen menjelaskan uang dan harta untuk meminang bukan diambil oleh isteri tapi semua anggota keluarganya atau Fam yang dibagi secara merata.
Terkait pemahaman tentang sehat, Pak Amen beranggapan bahwa sakit adalah terbaring di tempat tidur, sesak nafas, badan serasa lumpuh. Kalau pegal dan batuk bisa sembuh sendiri. Biasanya istrinya akan masak air hangat untuk mandi agar pegalnya hilang.
Tak terasa obrolan santai kami sudah berlangsung sekitar dua jam. Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Kami lalu diantar Pak Dedi ke rumah Pak Ace (tuan rumah dimana kami menginap selama dua hari) untuk istirahat. Tiba disana kami diskusi sejenak dan tanpa berlama-lama kami mengajak tuan rumah beristirahat karena dari raut wajah mereka terlihat sangat kelelahan. Kami pun demikian. Kami disediakan kamar dengan tempat tidur yang terbuat dari kapuk dan beralaskan tikar pandan dan ambal. Kamipun dengan mudah terlelap ditemani hujan yang mengguyur atap rumah dan pencahayaan pelita minyak tanah yang menembus horden kamar dari ruang tengah Pak Ace. Rumah ini cukup bersih dan semua tertata rapih. Tak ada toilet atau kamar mandi di dalam rumah. Jika ingin buang air, beliau berpesan untuk memanggilnya biar ditemani ke suatu tempat di luar rumah. Suasana hening dan damai menambah pulasnya tidur kami yang sepanjang hari melewati medan dan perjalanan yang cukup panjang.
***
Sinar matahari pagi nampak malu-malu menampakkan diri dan bersembunyi di balik anyaman daun rumbia. Itu tanda bahwa rutinitas akan dimulai. Dari depan kamar, istri Pak Ace sudah menyapa dan mengantar kami ke dapur. Ia mulai menuangkan air dari dalam jirigen ke timba untuk mencuci muka. Kembali ke ruang tamu, kami sudah disuguhkan teh hangat dan makanan di atas meja. Dengan lahap kami menyantapnya karena memang kelaparan. Sambil menikmati sarapan, Pak Ace dan Ibu mulai membuka obrolan dengan mengeluhkan anak perempuannya yang sedang batuk sudah menginjak 4 hari disertai demam sehingga belum ke sekolah. Tidak ada pertolongan yang dilakukan karena anaknya tidak ingin berobat. Ia takut disuntik. Kami mencoba memberi pengertian agar ke Pak Mantri dan meminta obat pil biar tidak disuntik. Pak Ace mengartikan sakit jika merasa lumpuh dan terjadi kecelakaan. Kalau hanya demam dapat diatasi dengan kembali beraktifitas sehari-hari. Ia bahkan merasa tambah sakit jika harus beristirahat. Pak Ace sudah beberapa bulan terakhir ini memilih tidak merokok lagi karena dianggap memperburuk keadaan tubuhnya dan memilih meminum air putih hangat ketimbang teh atau kopi. Ia memiliki 6 anak dimana anak tertua sudah menikah tiga tahun lalu. Anaknya yang saat itu masih duduk di bangku kelas 2 SMK memilih menikah daripada melanjutkan sekolah, sehingga pada saat proses lamaran dan pernikahan Pak Ace tidak ikut ambil harta (proses nikah Suku Gebanglia). Ia merasa kecewa dan sampai sekarang ia tidak pernah berkunjung kerumah anaknya. Sekarang Pak Ace mengharuskan anak-anaknya yang lain untuk tetap bersekolah selagi beliau masih sanggup untuk membiayai sekolah. Anak kedua duduk di kelas 3 SMK, anak ketiga kelas 1 SMK, dan anak lainnya di SMP dan di bangku SD.
Desa Waelikut, Ritual Kehamilan dan Persalinan
Hari ke tiga, dengan berat hati kami memutuskan pamit kepada Kepala Soa dan Mama Soa. Kami kembali menelusuri jalan setapak menuju kaki gunung, menuju Desa Waelikut, tempat Mantri Frans bermukim.  Tidak jauh dari tempat pak mantri, kami menginap di perumahan dokter bersama Ners Dewi dan Bidan Ria. Malam yang sunyi dengan penerangan listrik jauh lebih terang dibandingkan di pegunungan Fenamnesa. Malam itu, kami mendengar dengan seksama keluhan dan curhatan mereka selama bertugas di Waelikut. Sementara asik bercengkerama sambil menyeruput kopi khas Waelikut, tiba-tiba Bidan Ria mendapat panggilan warga untuk menolong persalinan saat itu juga. Kami pun menemani Bidan Ria dan segera bergegas ke rumah warga.
Sesampai di lokasi, ternyata bayi sudah lahir. Bidan Ria hanya diminta untuk memotong plasenta bayi yang bermasalah dan tidak dapat ditangani oleh Biang. Ya dukun beranak di daerah ini disebut Biang. Mereka dianggap telaten dan terampil dalam memberikan layanan persalinan bagi ibu. Tidak hanya persalinan, Biang bahkan memperhatikan ibu sejak hamil. Di rumah itu, kami menyaksikan langsung tradisi atau ritual yang dilakukan biang kepada bayi dan ibunya. Tradisi yang secara turun temurun dilakukan demi menjaga sebuan kepercayaan.
Di dalam ruangan, asap yang bersumber dari tumpukan kayu yang dibakar mengepul memenuhi ruangan. Ibu Dede, ibu bayi, juga berada di ruangan itu. Tidak lama kemudian si bayi datang yang digendong tantenya.  Biang sudah menyiapkan baskom yang berisi arang bara api yang masih panas. Biang lalu menghangatkan si bayi di atas bara api itu. Tangan biang di layangkan di atas bara api kemudian diusapkan ke bagian tubuh anak, pertama di bagian dada, muka, kaki, hingga kebagian kepala. Karena pusat bayi masih terjadi pendarahan, biang kembali meminta benang untuk mengikat pusat bayi, kemudian dilanjutkan mengayun anak di atas tumpukan bara api agar anak merasa hangat.
Biang sedang menghangatkan bayi yang baru lahir


Biang yang akrab disapa Mama La ini, sudah memiliki banyak pengalaman dalam membantu persalinan warga di sekitar Waelikut. Ia meneruskan “ilmu” dari ibunya yang juga seorang biang handal dan terkenal. Dalam menjalankan tugasnya, Mama La memegang prinsip kemanusiaan. Mama La tidak memasang tarif khusus, seikhlasnya dari keluarga pasiennya. Namun rata-rata ia mendapat bayaran 15.000 sampai 20.000 rupiah dari keluarga pasien. Adapun pelayanan yang diberikan adalah membantu proses melahirkan, rahu (menghangatkan) anak di atas bara api, serta ukup dan tidor dong api (menghangatkan) ibu dengan api.

Tradisi Tidur dengan Api (Ibu & Bayi sampai 40 hari)

Pak Dade, bapak si bayi, terlihat terus membakar kayu dan batok kelapa di atas baskom besi yang digunakan untuk menghangatkan bayi dan isterinya sampai masa nifas selesai. Batok kelapa dan kayu pilihan dibakar di atas baskom terus dinyalakan sampai mendapatkan bara api. Asap yang mengepul di dalam kamar sudah jadi hal yang biasa bagi Ibu Dede semenjak melahirkan anak pertamanya sampai anak kelima sekarang. Tradisi tidor dong api merupakan hal wajib yang dilakoni karena dipercaya cepat memulihkan kondisi ibu dan bayi tidak kedinginan. Sedangkan manfaat yang diyakini dari leluhur, Ibu Dede menyarankan ditanyakan langsung pada isteri Kepala Soa yang duduk di samping kami.
Mama Soa yang tersenyum dengan garis muka yang cantik, dengan jam tangan plastik hitam favorit melingkar di tangannya, berceritra bahwa ritual tidor dong api dilakukan di dalam kamar, jendela kamar ditutup rapat dan membiarkan asap naik keatap rumah. Leluhur Suku Gebanglia sampai sekarang meyakini asap yang naik diatap rumah merupakan pengantar dewa api yang dipercaya menyampaikan kabar baik kepada Tuhan. Rasa pekat asap yang dirasakan mata bayi diyakini bayi mengerti arti hidup sebenarnya yang tidak selalu mulus. Jika bayi merasa batuk berarti leluhur sudah memberi berkahnya, karena batuk merupakan tanda-tanda kehidupan. Sementara manfaat untuk ibu selain menghangatkan, api yang terus dinyalakan digunakan untuk menghangatkan minyak kelapa yang disimpan dengan jarak 30 cm dari bara api menggunakan botol kaca, yang minyaknya dimanfaatkan saat proses pemijatan terhadap ibu dilakukan setiap sore hari agar cepat pulih dan dapat melayani suaminya setelah dua minggu pasca melahirkan.


Hal lain juga dijumpai peneliti. Saat berkunjung di Dusun Waula, peneliti menemui ibu Uni Latbual yang saat proses persalinan mendapatkan wejangan dari biang untuk tidak mengejan sebelum waktunya atau sebelum ada hasil diagnosa oleh biang, walaupun sudah merasa ada kontraksi. Ibu Uni merasa mama La adalah biang yang lebih memahami kapan waktu bayinya lahir dan kapan harus meneran. Berbeda dengan biang sebelumnya yang menyuruhnya meneran terus menerus tanpa memperhatikan pembukaan servik dan kontraksi sampai dia merasa lemas.

“saya sampaikan awas e.. jangan se  rasa sakit seng manahan baru se baronda (jalan) dimana saja se antar (mengejan) seng bole, sampe beta bilang kasi (disuruh mengejan), baru kasi, karena beta tau suda diambang pintu. Ada yang datang su suru tidur miring, makang, jang matawana (begadang) barang orang melahirkan butuh dara (darah). Ada yang suda lombo (lemas) la panggel Puskesmas, karena tidak mendengar ”, kata Mama La.
Biang yang kerap kali melakukan persalinan sendiri ini, tidak pernah memanggil bidan jika tidak mengalami hambatan dalam menangani pasiennya.
“Kalau su ada tanda-tanda melahirkan, ibu katong kasi posisi miring, deng beta kambali ka rumah, kalo beta su perkirakan mau melahirkan beta datang, kasi aer par kasi kaluar, Beta matawana sampe pagi”
Hambatan persalinan yang tidak dapat ditangani oleh biang La adalah retencio placenta, preklamsi dan eklamsia. Mama La menyarankan keluarga pasien memanggil tenaga kesehatan saat-saat kondisi darurat, dan keluarga melakukan perundingan jika kepala suku atau orang adat setempat tidak menyarankan, maka kerap kali kematian ibu dan bayi tidak dapat dihindari. Terakhir kali Mama La menangani persalinan kondisi kepala bayi terjatuh dan badan bayi baru keluar setelah 20 menit, bayi meningal karena terlalu lama di pintu lahir, dan kondisi kepala terputus. Hal ini diyakini terjadi karena ibu atau suami selama hamil memotong kepala ular saat ibu menjalani kehamilan.
Wayang beta suru se angkat bayi, beta taro kain kafan sama kapas-kapas, beta atur, Wayang bilang sudah beta yang angkat bayi, beta pikir Wayang su tau kalo kapala bayi su putus, Wayang angka bayi bagini antua angka antua pung tangan, antua angka tapi seng tahang kapala, lalu bayi pung kapala su taloli (terguling)
Melakukan hal-hal yang tidak disarankan atau biasa disebut pamali seperti, mengikat kaki ayam dengan cara diikat melilit secara bolak balik diyakini akan menyebabkan janin di dalam perut ibu terlilit tali pusatnya sendiri. Selain itu dilarang membakar roti karena roti yang melekat di alat pembakaran di identikkan dengan melengketnya plasenta di dinding perut ibu. Ironisnya, kepercayaan ini bukan hanya popular di tengah masyarakat, biang, tetapi juga dipercaya oleh tenaga kesehatan setempat.
“kalau hamil bagitu beta kasi saran par pasien menyarankan  pasien jang bakar roti dolo deng jang ikat hewan ato siksa binatang peliharaan, barang (karena)  kasi susah beta pas bantu persalinan, itupun kalo panggil beta, kalau biang yang menangani, bagemana…”
Hal lain yang saya temukan adalah fenomena dimana banyak di antara Ibu-ibu Suku Gebanglia yang tinggal di pesisir menggunakan KB  secara diam-diam jika suami mereka sudah meninggal. Hal ini mereka lakukan dengan terpaksa karena tuntutan adat. Para wanita Suku Gebanglia yang menjadi janda, suka tidak suka, mau tidak mau, harus melayani ajakan untuk berhubungan suami istri dari keluarga suami baik saudara suami atau sepupunya. Jika tidak, wanita harus mengembalikan harta yang diberikan oleh suami saat pernikahan lalu. Bagi sebagian ibu, hal ini sulit dilakukan karena harta yang ada digunakan untuk membesarkan anak-anaknya dari suaminya terdahulu. Meskipun secara adat diatur, namun mereka menyadari hamil dari hasil percintaan dengan adik ipar atau adik sepupu suami tanpa ikatan pernikahan adalah sebuah aib yang membuat mereka malu berada dan hidup di tengah masyarakat.

Ronda-ronda (jalan-jalan) kasana kalo be (saya) hamil terus dong tau suami su mati…em..kalau di dusun seng mangapa. Katong parampuang ini su ditukar deng (dengan) kupang (harta) deng laki (suami) pung kaluarga(keluarga)  jadi harus tarima sa
Tradisi ini melahirkan fenomena banyaknya anak yang lahir tanpa adanya proses pernikahan terlebih dulu. Namun, bagi sebagian orang, hal ini lumrah karena sudah diatur oleh adat. Hasil observasi saya tempat lain saat berkunjung ke rumah kepala dusun atau kepala soa, singgah bertanya ke salah-satu rumah warga. Saya mendapati satu rumah dihuni oleh tiga istri muda belasan tahun dan masing-masing memangku bayi mereka.  Ibu-ibu muda di kalangan Suku Gebanglia tidak bersekolah karena orang tuanya lupa menyekolahkannya. Berdasarkan informasi dari beberapa petua, bersekolah dianggap tidak mendatangkan manfaat apapun.
***
   
Majunya pelayanan pengobatan modern diakui oleh Suku Gebanglia. Namun mereka menganggap pengobatan alami yang mereka pakai jauh lebih baik ketimbang pelayanan pengobatan modern yang banyak mengandung efek samping. Kepala Suku Gebanglia bermarga Latubual berpendapat mereka tidak perlu mengakses pelayanan medis karena mereka merasa adanya mantri dan dokter berasal dari metode pengobatan alami yang mereka percaya secara turun temurun, menjadi referensi dunia medis yang baru ada sekarang ini.
Dari 3 obat hanya satu, karena dia punya sebab, kita belum bisa untuk bisa semua obat itu bertumbuh dari alam, sampai katong berpisah, baru bisa mantri, dia bisa kan jadi dokter supaya berobat manusia, kalau katong belum berpisah dan masi berpisah belum bersatu tidak ada mantri dokter. Jadi obat kita itu adalah katong pertama, kalau kita masih berpisah dia obat dari mana, dokter dari mana
(Pak H Latubual, 52 Tahun)
Masyarakat Wamsisi sangat menjunjung tinggi adat istiadat mereka. Berbagai pantangan dalam interaksi sosial lingkungan masyarakat diatur dalam kepercayaan budaya yang diwariskan secara turun temurun. Kepala suku yang merupakan penutur asli memiliki peranan besar dalam pewarisan adat istiadat tersebut. Istri dari kepala suku siap menjadi biang dan menurunkan ilmunya terhadap turunannya.
tiap kapala dusun pung bini disini samua biang, beta pung bini ini sakarang ada usaha iko (ikut) biang bantu kasi lahir bayi, su lima kali iko tapi balom lolos, par siap jaga persalinan adat
(Kadus Kusu-kusu)
Biang istri kepala suku yang berusia 65 tahun membantu persalinan ibu hamil sampai di negeri manapun (semua desa di Waesama). Jika terjadi penyulit dalam proses persalinan oleh biang di daerah pesisir (negeri sana), beliau dipanggil untuk menyelamatkan ibu bersalin dan bayi. Ibu yang terkadang belum mengetahui kehamilannya jika berjumpa dengan Biang, langsung diberitahukan jenis kelamin si jabang bayi. Kalau dia ta'duduk (positif hamil) tanpa menggunakan test pack. Ibu hamil dari masa gestasi sebulan sampai menjalani persalinan selalu rutin menjalani pemijatan dengan menggunakan minyak kelapa yang sudah diberi doa-doa dan melalui proses Babeto, pemijatan dilakukan selembut mungkin sampai membetulkan posisi janin jika melintang.

Beta liat saja su satu minggukah, dua minggukah, bet su tau dia hamil, beta pijat poro pake minyak kelapa...kalo beta cuma sekali ambil minyak usap ke poro itu anak perempuan, kalo beta ambil minyak kelapa dua kali itu laki-laki
“Se ini su dua minggu, se sudah ada isi, terus ibu M bilang balom mama baru barapa hari, ah se sudah ada, ini laki-laki. padahal beta nanaku (diamati) laki-laki betul anak itu laer laki-laki, ihi...hi…beta taro nama syah. Ada lai yang datang, beta bilang se su tadudu (positif hamil) se ana parampuang, laer itu parampuang, tadi itu (ketika melahirkan), terus ibu K bilang, mama tau darimana? mama  bisa tau e, deng beta jawab, itu katong su punya rahasia seseorang (turun-temurun), itu orang tua-tua pung pegangan itu par katorang, jadi itu beta pasan par ana-ana jang ragu, kuat deng barang ini, seng parna paksa, seng parna pendarahan seng paksa ana kong, kepaksaan (terpaksa) seng ada”
Doa-doa dan teknik pola persalinan yang kerap dilakukan selalu berakhir baik, dengan menggunakan loleba hutan (bambu suling) yang selalu digunakan untuk memotong tali pusat bayi. Dalam memilih sembilu loleba yang diwajibkan karna berdaging tipis dan tidak menimbulkan panas dibandingkan bambu lainnya.
Terjadinya penyulit dalam persalinan diyakini bahwa ibu memiliki dosa yang sangat besar terhadap suaminya, dan dia harus menyadari, meminta maaf dengan tulus yang disaksikan oleh saudara perempuan dan Biang. Setelah memohon maaf terhadap suami, tindakan selanjutnya oleh mama biang untuk mengatasi penyulit persalinan seperti bayi lama dipintu lahir, biang memberikan segelas air putih yang sudah diberi doa-doa. Jika ibu mengalami indikasi bayi mati di dalam perutnya (lahir mati) untuk mengeluarkannya ibu diberikan air putih untuk di minum.
Sebagian besar masih percaya sama Biang, jadi mungkin salah satu kendalanya yang dipertimbangkan biayanya, bidan lebih mahal kalau biang berapa saja. Pendapatan dari orang sini hanya berkebun to, itupun musiman”
Tahun 2016 terdapat dua kematian neonatus di daerah ini, bayi yang mati karena berat badan lahir rendah dan yang satu mati karena terserang demam.
Tantangan Tenaga Kesehatan
Dalam berbagai kasus dan teori, tradisi atau ritual budaya adat istiadat yang mengakar kuat masih menjadi faktor penghambat dalam upaya menurunkan tingkat kematian ibu dan bayi. Berbagai tradisi tersebut sangat bertentangan dengan konsep kesehatan saat ini. Hal ini menjadi tantangan yang perlu ditangani melalui peran berbagai sektor. Tidak hanya pemerintah, namun juga melalui pendekatan kepada tokoh masyarakat karena dalam upaya pelestarian tradisi, mereka lah yang memeganag peranan penting. 
Kebijakan kesehatan yang terkait dengan ibu hamil/bersalin sangat berhubungan dengan jaminan pelayanan kesehatan yang terjangkau yang diterapkan oleh pemerintah. Keterjangkauan ini tentunya harus meliputi seluruh aspek kesehatan masyarakat terutama jaminan pelayanan yang terkait dengan kehamilan atau persalinan, tanpa memandang perbedaan dari sisi ekonomi, agama maupun suku. Disamping itu, kemudahan dalam proses birokrasi juga menjadi bagian penting dari faktor kebijakan kesehatan ini.
Hasil observasi ini mengungkapkan bahwa masih terdapat 62,5% penduduk wilayah kerja puskesmas Wamsisi yang tidak memiliki kartu BPJS & KIS, itupun dimiliki warga pesisir, sementara warga yang berada di pegunungan mereka tidak mengenal kartu BPJS atau KIS, jika menglami luka dan tidak dapat lagi ditangani orang pintar, semua penanganan atau tindakan yang diberikan pak mantri atau bidan mereka bayar.
“Beta su ada kartu penduduk, kalau kartu sehat katong seng tau, baru dengar jua ini pas ana bilang, kartu penduduk katong pake pas turung ka lao sa, kamareng waktu pemilihan bupati”
Persoalan lain adalah keakuratan data masyarakat penerima kartu jaminan kesehatan. Proses pendataan, terkadang masih ditemukan tidak dilakukan secara mendalam dan terintegrasi. Perbedaan data antara BPS dan pelayanan kesehatan seperti Puskesmas terkait jumlah masyarakat miskin, menjadikan proses validasi data menjadi tidak sempurna. Disisi lain, profesionalisme petugas yang bertanggung jawab terhadap pendataan menjadi masalah lain dari seluruh persoalan yang terkait birokrasi.
Koordinasi lintas sektor, apalagi yang terkait dengan kebijakan kesehatan, seharusnya dilakukan berdasarkan petunjuk teknis yang ada. Petunjuk ini harusnya menjadi acuan kerja bagi seluruh perangkat birokrasi mulai dari tingkat atas hingga ke tingkat bawah bahkan pada level pengumpul data, juknis ini harus menjadi acuan, sehingga ketika ditemukan masalah, maka alur koreksi dimulai dari koordinasi ditingkat bawah.
Peran kebijakan kesehatan, seharusnya terfokus pada upaya bagaimana masalah kehamilan dan persalinan yang terkait dengan kematian ibu hamil/bersalin dapat dicegah semaksimal mungkin. Hal ini hanya dapat dilakukan ketika kebijakan kesehatan tersebut diarahkan pada menekan sebesar mungkin hambatan-hambatan yang terkait dengan mekanisme birokrasi. Ini tentu membutuhkan pandangan dan cara berfikir yang sama pada seluruh penentu kebijakan maupun instansi yang terkait atau bertanggungjawab pada kematian tersebut.     
Harus diakui bahwa akar masalah terjadinya kematian ibu disebabkan keluarga tidak mengetahui bahkan tidak tanggap terhadap kondisi berisiko ibu hamil, sikap keluarga yang cenderung menganggap bahwa kelahiran adalah tanggung jawab ibu saja, bahkan anggaran kesehatan ibu hamil dan ibu bersalin dalam rumah tangga masih dianggap tidak penting. Aspek lain, keluarga masih menerapkan terlalu banyak tabu yang berimplikasi pada kerugian bagi ibu hamil dan ibu bersalin/masa nifas, baik dalam makan maupun perilaku, yang pada akhirnya berdampak pada pemenuhan gizi ibu. Demikian juga dengan persepsi keluarga terhadap kehamilan dan persalinan yang hanya dianggap sebagai peristiwa biasa, lalu sikap keluarga yang tidak sensitif; beban kerja rumah tangga ibu hamil dan tanggung jawabnya dalam mencari nafkah masih sama seperti biasanya, begitu pula dengan masih adanya bias gender dimana proses pengambilan keputusan masih di tangan laki-laki, baik itu suami, bapak, mertua, bahkan untuk keperluan pemeriksaan kehamilan dan persalinan, ibu selalu tidak berdaya.
 Aspek budaya yang terkait dengan pantangan-pantangan baik itu pantangan perilaku maupun pantangan makanan, jumlah penghasilan dalam konteks kemiskinan serta kesetaraan gender yang tergambarkan dalam pola pengambilan keputusan dalam keluarga, merupakan hal yang harusnya ditangani secara komprehensif.  
Menurunkan angka kematian ibu bukan hanya pada sektor kesehatan, namun tentu hal ini juga terkait dengan pemahaman keluarga akan relasi kuasa dalam hubungan laki-laki dan perempuan. Kendala-kendala sosial budaya harus dilihat dalam kerangka fikir masyarakat, dan bukan sudut pandang pemerintah. Kematian akibat melahirkan adalah peristiwa langka, harus dilakukan perubahan pada mindset berfikir masyarakat bahwa kematian tersebut adalah kejadian luar biasa dan itu harus dilakukan secara terus menerus tiada henti di lingkungan masyarakat luas agar mereka mengetahui bahwa suatu kejadian bisa menjadi kejadian luar biasa. Perubahan kerangka berfikir masyarakat tentunya harus disertai dengan memberi pemahaman dalam bentuk penyuluhan dan penyampaian informasi yang benar sehingga tidak menyebabkan masyarakat menjadi phobia terhadap kondisi kegawatdaruratan kehamilan/persalinan tetapi justru sebaliknya masyarakat bertambah yakin untuk ikut menangani masalah tersebut dengan cara yang baik dan menurut aturan yang wajar.
Perubahan mindset berfikir dalam bentuk penyuluhan dan pemberian informasi yang benar tentunya harus dilakukan dengan tetap melihat pada latar belakang sosial budaya masyarakat, sehingga mereka bisa melakukan perubahan dan menerapkannya sesuai dengan adat istiadat dan kemampuan yang ada padanya.  Upaya yang sistematis dan terencana dalam menangani masalah determinan social kesehatan ini, akan menjadi jalan baru bagi penyelesaian masalah kematian ibu. Membangun kedekatan secara utuh antara petugas kesehatan dengan masyarakat, diharapkan akan membuka sekat kultur yang selama ini menjadi hambatan dalam penerapan program-program dibidang kesehatan utamanya yang terkait dengan kehamilan dan persalinan.          
Berbagai program yang selama ini telah dicanangkan dan dilaksanakan oleh pemerintah, sebenarnya telah memenuhi optimisme untuk menurunkan angka kematian ibu. Hanya memang model pendekatan yang dilakukan selalu hanya beriorientasi pada kepentingan pencapaian target pemerintah/program. Padahal, ada hal-hal yang berlaku dimasyarakat dan telah menjadi salah satu model system kehidupan dan bermasyarakat yang telah turun temurun dilakoni oleh masyarakat. Ketika masyarakat melihat bahwa apa yang diprogramkan oleh pemerintah bertentangan dengan model kehidupan mereka, maka disitulah kita akan melihat kegagalan program tersebut untuk diterapkan. Biang sangat berpengaruh dalam sistem kehidupan masyarakat yang turun temurun, kemudian dilatih untuk melakukan penanganan persalinan yang sehat dan aman serta segera melaporkan jika terjadi komplikasi. Program ini merupakan salah satu program yang yang berjalan di kabupaten Buru Selatan.
Tiga model keterlambatan akan membawa konstribusi cukup besar terhadap kematian ibu, karena didalamnya mencakup keterlambatan pertama, yaitu keterlambatan dalam mengenali adanya keadaan kegawatdaruratan kebidanan yang mengharuskan seorang ibu untuk segera dirujuk ke fasilitas kesehatan yang lebih lengkap bila terjadi komplikasi saat kehamilan, persalinan maupun saat nifas dan kemudian diikuti dengan keterlambatan dalam pengambilan keputusan untuk mencari pertolongan.
Beberapa sebab terjadinya tiga keterlambatan ini diantaranya, ketidakmampuan keluarga atau ibu untuk mengenali tanda bahaya. Hasil wawancara yang dilakukan kepada bidan mengungkapkan bahwa
“informasi tentang tanda-tanda bahaya kehamilan maupun persalinan, telah dilakukan secara maksimal namun hambatan tingkat pendidikan ibu membuat informasi tersebut tidak mampu diaplikasikan secara nyata.( BIL, 27 thn )
Masalah infrastruktur seperti pembangunan jalan yang belum merata dan menyulitkan akses perempuan hamil mencapai sarana kesehatan menjadi penyumbang penting tingginya AKI dan tiga keterlambatan. Ini disebabkan karena pusat pelayanan kesehatan terbanyak di wilayah ibukota kecamatan dan belum menjangkau hingga desa-desa terpencil. Sulitnya akses jalan menuju fasilitas kesehatan yang memadai menimbulkan permasalahan mahalnya biaya transportasi menuju fasilitas kesehatan. Di wilayah desa yang terpencil akses ke pusat layanan kesehatan harus ditempuh dengan menggunakan ojek dengan kondisi jalan yang rusak dan berliku.
Fasilitas Pelayanan kesehatan yang terjangkau merupakan salah satu syarat tercapainya secara optimal kualitas kesehatan masyarakat. Keterjangkauan tersebut salah satunya terkait dengan posisi fasiltas pelayanan kesehatan tersebut yang berada pada wilayah yang strategis untuk diakses oleh masyarakat. Salah satu aspek yang menjadi kajian terhadap kematian ibu, adalah masih banyaknya masyarakat yang tidak dapat mengakses secara cepat layanan layanan kesehatan pada fasilitas pelayanan kesehatan diakibatkan oleh jarak yang harus ditempuh oleh masyarakat untuk tiba atau mencapai fasilitas tersebut sangat jauh.
Wilayah geografis kabupaten Buru Selatan, cenderung berada pada wilayah dataran tinggi, menyebabkan masyarakat menempuh waktu yang lebih lama untuk tiba pada fasilitas pelayanan kesehatan terdekat. Belum lagi kondisi jalan yang ditemukan dalam kondisi tidak baik bahkan ada yang harus ditempuh dengan berjalan kaki dan menyeberangi sungai. Kondisi inilah kemudian yang mengakumulasi terjadinya berbagai masalah pada ibu hamil/bersalin sehingga menyebab- kan terjadinya kematian pada mereka.
Membangun komunikasi kultural terhadap anggota keluarga juga penting dilakukan untuk membangun kepedulian keluarga terhadap ibu hamil/bersalin, sehingga benturan budaya dapat diminimalisir dan pada akhirnya, menekan jumlah ibu hamil/bersalin yang mengalami kematian dapat dicapai dengan optimal. 
Temuan penelitian ini sekali lagi semakin membuka mata kita bahwa menjalankan program-program kesehatan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Banyak persoalan yang perlu diidentifikasi secara spesifik, solusi yang hadir harus menyentuh segala aspek secara komprehensif dan terjewantahkan dalam berbagai program yang efektif dan efisien. Terlebih yang berkaitan dengan kepercayaan atau tradisi masyarakat setempat yang sudah mengakar kuat. Tentu saja, dinamika kehidupan dalam masyarakat di segala dimensi berkonsekuensi terhadap program-pemerintah tak terkecuali di bidang kesehatan. Kita semua yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung harus berkontribusi dalam upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat.












Komentar