“saya sampaikan awas e.. jangan se rasa sakit seng manahan baru se baronda
(jalan) dimana saja se antar (mengejan) seng bole, sampe beta bilang kasi
(disuruh mengejan), baru kasi, karena beta tau suda diambang pintu. Ada yang
datang su suru tidur miring, makang, jang matawana (begadang) barang orang
melahirkan butuh dara (darah). Ada yang suda lombo (lemas) la panggel Puskesmas,
karena tidak mendengar ”, kata Mama La.
Biang yang kerap kali melakukan persalinan sendiri ini, tidak
pernah memanggil bidan jika tidak mengalami hambatan dalam menangani pasiennya.
“Kalau su ada tanda-tanda melahirkan, ibu katong kasi posisi
miring, deng beta kambali ka rumah, kalo beta su perkirakan mau melahirkan beta
datang, kasi aer par kasi kaluar, Beta matawana sampe pagi”
Hambatan persalinan yang tidak dapat ditangani oleh biang La adalah retencio placenta,
preklamsi dan eklamsia. Mama La menyarankan keluarga pasien memanggil tenaga
kesehatan saat-saat kondisi darurat, dan keluarga melakukan perundingan jika
kepala suku atau orang adat setempat tidak menyarankan, maka kerap kali kematian
ibu dan bayi tidak dapat dihindari. Terakhir kali Mama La menangani persalinan
kondisi kepala bayi terjatuh dan badan bayi baru keluar setelah 20 menit, bayi
meningal karena terlalu lama di pintu lahir, dan kondisi kepala terputus. Hal
ini diyakini terjadi karena ibu atau suami selama hamil memotong kepala ular
saat ibu menjalani kehamilan.
“Wayang beta suru se
angkat bayi, beta taro kain kafan sama kapas-kapas, beta atur, Wayang bilang
sudah beta yang angkat bayi, beta pikir Wayang su tau kalo kapala bayi su
putus, Wayang angka bayi bagini antua angka antua pung tangan, antua angka tapi
seng tahang kapala, lalu bayi pung kapala su taloli (terguling)”
Melakukan hal-hal yang tidak disarankan atau biasa disebut pamali seperti, mengikat kaki ayam
dengan cara diikat melilit secara bolak balik diyakini akan menyebabkan janin
di dalam perut ibu terlilit tali pusatnya sendiri. Selain itu dilarang membakar
roti karena roti yang melekat di alat pembakaran di identikkan dengan melengketnya
plasenta di dinding perut ibu. Ironisnya, kepercayaan ini bukan hanya popular
di tengah masyarakat, biang, tetapi
juga dipercaya oleh tenaga kesehatan setempat.
“kalau hamil bagitu beta kasi saran par pasien
menyarankan pasien jang bakar roti dolo
deng jang ikat hewan ato siksa binatang peliharaan, barang (karena) kasi susah beta pas bantu persalinan, itupun
kalo panggil beta, kalau biang yang menangani, bagemana…”
Hal lain yang saya temukan adalah fenomena dimana banyak di antara
Ibu-ibu Suku Gebanglia yang tinggal di pesisir menggunakan KB secara diam-diam jika suami mereka sudah
meninggal. Hal ini mereka lakukan dengan terpaksa karena tuntutan adat. Para
wanita Suku Gebanglia yang menjadi janda, suka tidak suka, mau tidak mau, harus
melayani ajakan untuk berhubungan suami istri dari keluarga suami baik saudara
suami atau sepupunya. Jika tidak, wanita harus mengembalikan harta yang
diberikan oleh suami saat pernikahan lalu. Bagi sebagian ibu, hal ini sulit
dilakukan karena harta yang ada digunakan untuk membesarkan anak-anaknya dari
suaminya terdahulu. Meskipun secara adat diatur, namun mereka menyadari hamil
dari hasil percintaan dengan adik ipar atau adik sepupu suami tanpa ikatan
pernikahan adalah sebuah aib yang membuat mereka malu berada dan hidup di
tengah masyarakat.
“Ronda-ronda
(jalan-jalan) kasana kalo be (saya) hamil terus dong tau suami su
mati…em..kalau di dusun seng mangapa. Katong parampuang ini su ditukar deng
(dengan) kupang (harta) deng laki (suami) pung kaluarga(keluarga) jadi harus tarima sa”
Tradisi ini melahirkan fenomena banyaknya anak yang lahir
tanpa adanya proses pernikahan terlebih dulu. Namun, bagi sebagian orang, hal
ini lumrah karena sudah diatur oleh adat. Hasil observasi saya tempat lain saat
berkunjung ke rumah kepala dusun atau kepala soa, singgah bertanya ke salah-satu rumah warga. Saya mendapati
satu rumah dihuni oleh tiga istri muda belasan tahun dan masing-masing memangku
bayi mereka. Ibu-ibu muda di kalangan
Suku Gebanglia tidak bersekolah karena orang tuanya lupa menyekolahkannya. Berdasarkan
informasi dari beberapa petua, bersekolah dianggap tidak mendatangkan manfaat
apapun.
***
Majunya pelayanan pengobatan modern diakui oleh Suku
Gebanglia. Namun mereka menganggap pengobatan alami yang mereka pakai jauh
lebih baik ketimbang pelayanan pengobatan modern yang banyak mengandung efek
samping. Kepala Suku Gebanglia bermarga Latubual berpendapat mereka tidak perlu
mengakses pelayanan medis karena mereka merasa adanya mantri dan dokter berasal
dari metode pengobatan alami yang mereka percaya secara turun temurun, menjadi
referensi dunia medis yang baru ada sekarang ini.
“Dari
3 obat hanya satu, karena dia punya sebab, kita belum bisa untuk bisa semua
obat itu bertumbuh dari alam, sampai katong berpisah, baru bisa mantri, dia
bisa kan jadi dokter supaya berobat manusia, kalau katong belum berpisah dan
masi berpisah belum bersatu tidak ada mantri dokter. Jadi obat kita itu adalah
katong pertama, kalau kita masih berpisah dia obat dari mana, dokter dari mana”
(Pak
H Latubual, 52 Tahun)
Masyarakat Wamsisi sangat menjunjung tinggi adat istiadat mereka. Berbagai
pantangan dalam interaksi sosial lingkungan masyarakat diatur dalam kepercayaan
budaya yang diwariskan secara turun temurun. Kepala suku yang merupakan penutur
asli memiliki peranan besar dalam pewarisan adat istiadat tersebut. Istri dari
kepala suku siap menjadi biang dan menurunkan ilmunya terhadap turunannya.
“tiap kapala dusun pung bini disini samua biang, beta pung
bini ini sakarang ada usaha iko (ikut) biang bantu kasi lahir bayi, su lima
kali iko tapi balom lolos, par siap jaga persalinan adat”
(Kadus Kusu-kusu)
Biang
istri kepala suku yang berusia 65 tahun membantu persalinan ibu hamil sampai di
negeri manapun (semua desa di Waesama). Jika terjadi penyulit dalam proses
persalinan oleh biang di daerah pesisir (negeri sana), beliau dipanggil untuk
menyelamatkan ibu bersalin dan bayi. Ibu yang terkadang belum mengetahui
kehamilannya jika berjumpa dengan Biang, langsung diberitahukan jenis kelamin
si jabang bayi. Kalau dia ta'duduk (positif
hamil) tanpa menggunakan test pack. Ibu hamil dari masa gestasi sebulan sampai
menjalani persalinan selalu rutin menjalani pemijatan dengan menggunakan minyak
kelapa yang sudah diberi doa-doa dan melalui proses Babeto, pemijatan dilakukan
selembut mungkin sampai membetulkan posisi janin jika melintang.
“Beta
liat saja su satu minggukah, dua minggukah, bet su tau dia hamil, beta pijat
poro pake minyak kelapa...kalo beta cuma sekali ambil minyak usap ke poro itu
anak perempuan, kalo beta ambil minyak kelapa dua kali itu laki-laki
”
“Se
ini su dua minggu, se sudah ada isi, terus ibu M bilang balom mama baru barapa
hari, ah se sudah ada, ini laki-laki. padahal beta nanaku (diamati) laki-laki
betul anak itu laer laki-laki, ihi...hi…beta taro nama syah. Ada lai yang
datang, beta bilang se su tadudu (positif hamil) se ana parampuang, laer itu
parampuang, tadi itu (ketika melahirkan), terus ibu K bilang, mama tau
darimana? mama bisa tau e, deng beta
jawab, itu katong su punya rahasia seseorang (turun-temurun), itu orang tua-tua
pung pegangan itu par katorang, jadi itu beta pasan par ana-ana jang ragu, kuat
deng barang ini, seng parna paksa, seng parna pendarahan seng paksa ana kong,
kepaksaan (terpaksa) seng ada”
Doa-doa
dan teknik pola persalinan yang kerap dilakukan selalu berakhir baik, dengan
menggunakan loleba hutan (bambu
suling) yang selalu digunakan untuk memotong tali pusat bayi. Dalam memilih
sembilu loleba yang diwajibkan karna
berdaging tipis dan tidak menimbulkan panas dibandingkan bambu lainnya.
Terjadinya
penyulit dalam persalinan diyakini bahwa ibu memiliki dosa yang sangat besar
terhadap suaminya, dan dia harus menyadari, meminta maaf dengan tulus yang
disaksikan oleh saudara perempuan dan Biang. Setelah memohon maaf terhadap
suami, tindakan selanjutnya oleh mama biang
untuk mengatasi penyulit persalinan seperti bayi lama dipintu lahir, biang
memberikan segelas air putih yang sudah diberi doa-doa. Jika ibu mengalami
indikasi bayi mati di dalam perutnya (lahir mati) untuk mengeluarkannya ibu
diberikan air putih untuk di minum.
“Sebagian
besar masih percaya sama Biang, jadi mungkin salah satu kendalanya yang
dipertimbangkan biayanya, bidan lebih mahal kalau biang berapa saja. Pendapatan
dari orang sini hanya berkebun to, itupun musiman”
Tahun 2016 terdapat dua kematian neonatus di daerah ini, bayi
yang mati karena berat badan lahir rendah dan yang satu mati karena terserang
demam.
Tantangan Tenaga Kesehatan
Dalam
berbagai kasus dan teori, tradisi atau ritual budaya adat istiadat yang mengakar
kuat masih menjadi faktor penghambat dalam upaya menurunkan tingkat kematian
ibu dan bayi. Berbagai tradisi tersebut sangat bertentangan dengan konsep
kesehatan saat ini. Hal ini menjadi tantangan yang perlu ditangani melalui
peran berbagai sektor. Tidak hanya pemerintah, namun juga melalui pendekatan
kepada tokoh masyarakat karena dalam upaya pelestarian tradisi, mereka lah yang
memeganag peranan penting.
Kebijakan
kesehatan yang terkait dengan ibu hamil/bersalin sangat berhubungan dengan
jaminan pelayanan kesehatan yang terjangkau yang diterapkan oleh pemerintah.
Keterjangkauan ini tentunya harus meliputi seluruh aspek kesehatan masyarakat
terutama jaminan pelayanan yang terkait dengan kehamilan atau persalinan, tanpa
memandang perbedaan dari sisi ekonomi, agama maupun suku. Disamping itu,
kemudahan dalam proses birokrasi juga menjadi bagian penting dari faktor
kebijakan kesehatan ini.
Hasil
observasi ini mengungkapkan bahwa masih terdapat 62,5% penduduk wilayah kerja
puskesmas Wamsisi yang tidak memiliki kartu BPJS & KIS, itupun dimiliki warga
pesisir, sementara warga yang berada di pegunungan mereka tidak mengenal kartu
BPJS atau KIS, jika menglami luka dan tidak dapat lagi ditangani orang pintar,
semua penanganan atau tindakan yang diberikan pak mantri atau bidan mereka
bayar.
“Beta
su ada kartu penduduk, kalau kartu sehat katong seng tau, baru dengar jua ini
pas ana bilang, kartu penduduk katong pake pas turung ka lao sa, kamareng waktu
pemilihan bupati”
Persoalan
lain adalah keakuratan data masyarakat penerima kartu jaminan kesehatan. Proses
pendataan, terkadang masih ditemukan tidak dilakukan secara mendalam dan
terintegrasi. Perbedaan data antara BPS dan pelayanan kesehatan seperti
Puskesmas terkait jumlah masyarakat miskin, menjadikan proses validasi data
menjadi tidak sempurna. Disisi lain, profesionalisme petugas yang bertanggung
jawab terhadap pendataan menjadi masalah lain dari seluruh persoalan yang
terkait birokrasi.
Koordinasi
lintas sektor, apalagi yang terkait dengan kebijakan kesehatan, seharusnya
dilakukan berdasarkan petunjuk teknis yang ada. Petunjuk ini harusnya menjadi
acuan kerja bagi seluruh perangkat birokrasi mulai dari tingkat atas hingga ke
tingkat bawah bahkan pada level pengumpul data, juknis ini harus menjadi acuan,
sehingga ketika ditemukan masalah, maka alur koreksi dimulai dari koordinasi
ditingkat bawah.
Peran
kebijakan kesehatan, seharusnya terfokus pada upaya bagaimana masalah kehamilan
dan persalinan yang terkait dengan kematian ibu hamil/bersalin dapat dicegah
semaksimal mungkin. Hal ini hanya dapat dilakukan ketika kebijakan kesehatan
tersebut diarahkan pada menekan sebesar mungkin hambatan-hambatan yang terkait
dengan mekanisme birokrasi. Ini tentu membutuhkan pandangan dan cara berfikir
yang sama pada seluruh penentu kebijakan maupun instansi yang terkait atau
bertanggungjawab pada kematian tersebut.
Harus diakui bahwa akar masalah
terjadinya kematian ibu disebabkan keluarga tidak mengetahui bahkan tidak tanggap
terhadap kondisi berisiko ibu hamil, sikap keluarga yang cenderung menganggap
bahwa kelahiran adalah tanggung jawab ibu saja, bahkan anggaran kesehatan ibu
hamil dan ibu bersalin dalam rumah tangga masih dianggap tidak penting. Aspek
lain, keluarga masih menerapkan terlalu banyak tabu yang berimplikasi pada
kerugian bagi ibu hamil dan ibu bersalin/masa nifas, baik dalam makan maupun
perilaku, yang pada akhirnya berdampak pada pemenuhan gizi ibu. Demikian juga
dengan persepsi keluarga terhadap kehamilan dan persalinan yang hanya dianggap
sebagai peristiwa biasa, lalu sikap keluarga yang tidak sensitif; beban kerja
rumah tangga ibu hamil dan tanggung jawabnya dalam mencari nafkah masih sama
seperti biasanya, begitu pula dengan masih adanya bias gender dimana proses
pengambilan keputusan masih di tangan laki-laki, baik itu suami, bapak, mertua,
bahkan untuk keperluan pemeriksaan kehamilan dan persalinan, ibu selalu tidak
berdaya.
Aspek budaya yang terkait dengan
pantangan-pantangan baik itu pantangan perilaku maupun pantangan makanan,
jumlah penghasilan dalam konteks kemiskinan serta kesetaraan gender yang
tergambarkan dalam pola pengambilan keputusan dalam keluarga, merupakan hal
yang harusnya ditangani secara komprehensif.
Menurunkan angka
kematian ibu bukan hanya pada sektor kesehatan, namun tentu hal ini juga
terkait dengan pemahaman keluarga akan relasi kuasa dalam hubungan laki-laki
dan perempuan. Kendala-kendala sosial budaya harus dilihat dalam kerangka fikir
masyarakat, dan bukan sudut pandang pemerintah. Kematian akibat melahirkan
adalah peristiwa langka, harus dilakukan perubahan pada mindset berfikir
masyarakat bahwa kematian tersebut adalah kejadian luar biasa dan itu harus
dilakukan secara terus menerus tiada henti di lingkungan masyarakat luas agar
mereka mengetahui bahwa suatu kejadian bisa menjadi kejadian luar biasa.
Perubahan kerangka berfikir masyarakat tentunya harus disertai dengan memberi
pemahaman dalam bentuk penyuluhan dan penyampaian informasi yang benar sehingga
tidak menyebabkan masyarakat menjadi phobia terhadap kondisi kegawatdaruratan
kehamilan/persalinan tetapi justru sebaliknya masyarakat bertambah yakin untuk
ikut menangani masalah tersebut dengan cara yang baik dan menurut aturan yang
wajar.
Perubahan mindset
berfikir dalam bentuk penyuluhan dan pemberian informasi yang benar tentunya
harus dilakukan dengan tetap melihat pada latar belakang sosial budaya
masyarakat, sehingga mereka bisa melakukan perubahan dan menerapkannya sesuai
dengan adat istiadat dan kemampuan yang ada padanya. Upaya yang sistematis dan terencana dalam
menangani masalah determinan social kesehatan ini, akan menjadi jalan baru bagi
penyelesaian masalah kematian ibu. Membangun kedekatan secara utuh antara
petugas kesehatan dengan masyarakat, diharapkan akan membuka sekat kultur yang
selama ini menjadi hambatan dalam penerapan program-program dibidang kesehatan
utamanya yang terkait dengan kehamilan dan persalinan.
Berbagai program
yang selama ini telah dicanangkan dan dilaksanakan oleh pemerintah, sebenarnya
telah memenuhi optimisme untuk menurunkan angka kematian ibu. Hanya memang
model pendekatan yang dilakukan selalu hanya beriorientasi pada kepentingan
pencapaian target pemerintah/program. Padahal, ada hal-hal yang berlaku dimasyarakat
dan telah menjadi salah satu model system kehidupan dan bermasyarakat yang
telah turun temurun dilakoni oleh masyarakat. Ketika masyarakat melihat bahwa
apa yang diprogramkan oleh pemerintah bertentangan dengan model kehidupan
mereka, maka disitulah kita akan melihat kegagalan program tersebut untuk
diterapkan. Biang sangat berpengaruh dalam sistem kehidupan masyarakat yang
turun temurun, kemudian dilatih untuk melakukan penanganan persalinan yang
sehat dan aman serta segera melaporkan jika terjadi komplikasi. Program ini
merupakan salah satu program yang yang berjalan di kabupaten Buru Selatan.
Tiga
model keterlambatan akan membawa konstribusi cukup besar terhadap kematian ibu,
karena didalamnya mencakup keterlambatan pertama, yaitu keterlambatan dalam
mengenali adanya keadaan kegawatdaruratan kebidanan yang mengharuskan seorang
ibu untuk segera dirujuk ke fasilitas kesehatan yang lebih lengkap bila terjadi
komplikasi saat kehamilan, persalinan maupun saat nifas dan kemudian diikuti
dengan keterlambatan dalam pengambilan keputusan untuk mencari pertolongan.
Beberapa sebab terjadinya tiga
keterlambatan ini diantaranya, ketidakmampuan keluarga atau ibu untuk mengenali
tanda bahaya. Hasil wawancara yang dilakukan kepada bidan mengungkapkan bahwa
“informasi tentang tanda-tanda bahaya kehamilan maupun
persalinan, telah dilakukan secara maksimal namun hambatan tingkat pendidikan
ibu membuat informasi tersebut tidak mampu diaplikasikan secara nyata.” ( BIL, 27 thn )
Masalah
infrastruktur seperti pembangunan jalan yang belum merata dan menyulitkan akses
perempuan hamil mencapai sarana kesehatan menjadi penyumbang penting tingginya
AKI dan tiga keterlambatan. Ini disebabkan karena pusat pelayanan kesehatan
terbanyak di wilayah ibukota kecamatan dan belum menjangkau hingga desa-desa
terpencil. Sulitnya akses jalan menuju fasilitas kesehatan yang memadai
menimbulkan permasalahan mahalnya biaya transportasi menuju fasilitas
kesehatan. Di wilayah desa yang terpencil akses ke pusat layanan kesehatan
harus ditempuh dengan menggunakan ojek dengan kondisi jalan yang rusak dan
berliku.
Fasilitas Pelayanan kesehatan yang terjangkau merupakan salah satu syarat
tercapainya secara optimal kualitas kesehatan masyarakat. Keterjangkauan
tersebut salah satunya terkait dengan posisi fasiltas pelayanan kesehatan
tersebut yang berada pada wilayah yang strategis untuk diakses oleh masyarakat.
Salah satu aspek yang menjadi kajian terhadap kematian ibu, adalah masih
banyaknya masyarakat yang tidak dapat mengakses secara cepat layanan layanan
kesehatan pada fasilitas pelayanan kesehatan diakibatkan oleh jarak yang harus
ditempuh oleh masyarakat untuk tiba atau mencapai fasilitas tersebut sangat
jauh.
Wilayah geografis kabupaten Buru Selatan, cenderung berada pada wilayah
dataran tinggi, menyebabkan masyarakat menempuh waktu yang lebih lama untuk
tiba pada fasilitas pelayanan kesehatan terdekat. Belum lagi kondisi jalan yang
ditemukan dalam kondisi tidak baik bahkan ada yang harus ditempuh dengan berjalan
kaki dan menyeberangi sungai. Kondisi inilah kemudian yang mengakumulasi
terjadinya berbagai masalah pada ibu hamil/bersalin sehingga menyebab- kan terjadinya
kematian pada mereka.
Membangun
komunikasi kultural terhadap anggota keluarga juga penting dilakukan untuk
membangun kepedulian keluarga terhadap ibu hamil/bersalin, sehingga benturan
budaya dapat diminimalisir dan pada akhirnya, menekan jumlah ibu hamil/bersalin
yang mengalami kematian dapat dicapai dengan optimal.
Temuan
penelitian ini sekali lagi semakin membuka mata kita bahwa menjalankan
program-program kesehatan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Banyak
persoalan yang perlu diidentifikasi secara spesifik, solusi yang hadir harus
menyentuh segala aspek secara komprehensif dan terjewantahkan dalam berbagai
program yang efektif dan efisien. Terlebih yang berkaitan dengan kepercayaan
atau tradisi masyarakat setempat yang sudah mengakar kuat. Tentu saja, dinamika
kehidupan dalam masyarakat di segala dimensi berkonsekuensi terhadap program-pemerintah
tak terkecuali di bidang kesehatan. Kita semua yang terlibat baik langsung
maupun tidak langsung harus berkontribusi dalam upaya peningkatan derajat
kesehatan masyarakat.
Komentar
Posting Komentar